Feeds:
Pos
Komentar

Hujan menggelayut dilangit yang kelam. Petir dan gemuruh guntur membahana di ruang angkasa memecah kegelapan. Waktu sudah menunjukan pukul 20.00 Wita. Malam itu saya bergegas pulang, setelah seharian sibuk dengan urusan pendampingan. Sebetulnya saya selalu berfikir panjang jika harus kembali pada malam hari. Sebab, ruas jalan yang saya tempuh adalah areal perkebuna warga yang sebagiannya masih berbentuk hutan belantara.

Kawasan hutan yang membentang dari Masama hingga kawasan pegunungan Boloak di Kecamatan Balantak, sudah di kapling warga menjadi milik mereka namun belum dibuka dan diolah menjadi perkebunan. Kondisi itu membuat jalan yang harus dilalui menuju desa dampingan menjadi cukup beralasan untuk ditakuti, apalagi jika malam hari.

Ditambah lagi dengan ada cerita warga soal adanya orang tidak dikenal yang kerap melakukan pencegatan terhadap pengendara kendaraan yang melewati kawasan perkebunan dan hutan itu. Hemm….tapi bagiku tak ada pilihan lain, selain harus menembus jalan itu. Kucoba membunuh rasa takutku sendiri dengan berupaya meyakinkan hati bahwa aku harus cepat sampai kerumah.

Kecepatan motor menujukan 80 kilometer/jam. Lumayan kencang untuk ukuranku. Apalagi ini adalah perjalanan malam, dengan curah hujan terus membasahi sepanjang jalan.

Dingin mulai menusuk tubuhku hingga terasa sampai pada persendian. Dengan tangan yang menggigil tetap kugenggam setir motorku agar tak lepas. Aku bisa merasakan bahwa hujam malam itu cukup deras. Bahkan air yang menghujam kewajahku terasa sakit. Aku memang sengaja tidak menurunkan kaca helem agar tidak mengganggu padanganku malam itu.

Setelah beberapa saat melaju, tibalah aku dikawasan jalan yang penuh dan pendakian. Orang orang menyebut kawasan itu adalah “poniki”. Dalam bahasa lokal, poniki adalah kelelwar. Aku tidak paham benar mengapa kawasan itu disebut poniki. Yang aku tau, juga dari cerita orang orang, kawasan tersebut lumayan angker. Namun aku sendiri belum mengetahui alasan yang kuat mengapa kawasan itu disebut agker.

Disitulah aku merasaka sesuatu yang luar bisa malam itu. Saat kecepatan motorku harus dikuragi karena banyaknya tikungan tajam, tiba tiba saja dari kejauhan terlihat samar samar bayangan sosok manusia. Saya bisa melihatnya dari cahaya lamput motorku yang memang menusuk jauh kedepan.

“Hmmmmm, seperti ada manusia,” gumamku dalam hati.

Namun beberapa saat kemudian bayangan itu hilang karena lampu motorku harus kuarahkan sesuai jalur jalan. Perasaanku mulai tidak enak. “Ini adalah wilayah angker, jangan-jangan ada setan,” batinku bertanya sendiri pada hatiku, yang tak bisa dijawab oleh pikiranku sendiri.

Dan, aku benar benar kaget setelah dalam jarak sekita 3 meter setelah tikungan menjelang menurunan tajam, ada sosok menusia yang berdiri tegap namun membelakangi jalan, berada pada posisi lurus dengan cahaya lampu motorku.

“gila, ini setan kayaknya,” gumamku.

Aku tidak dapat mempercepat laju motorku, karena posisi jalan sedang menurun dan menukik tajam. Aku memberanikan diri untuk menoleh kearah sosok manusia itu.

Dan ternyata, itu adalah manusia benaran. Bukan setan atau apapun yang menakutkan. Sebab, aku melihat ditangannya ada senter dan juga rokok. Ia memang tidak melihatku, namun menoleh kearah hutan dan membelakangi jalan. Namun aku bisa melihat dengan jelas, bahwa sosok itu memegang senter dan rokok yang sudah sibakar.

“Tidak mungkin setan pakai senter,” gumamku dalam hati.

Perasaanku kembali tenang. Meskipun jantungku sempat terasa berdetak lebih cepat dari biasanya. Sebab, jika benar itu adalah mahluk yang menakutkan, maka posisiku sangat tidak menguntungkan. Sebab, aku berada di jalan menurun yang menukik tajam dengan tikungan pendek di depannya. Tak mungkin bisa kupercepat laju kendaraanku. Tapi syukurlah, itu bukan setan. Pasti manusia biasa, orang yang sedang berjalan menuju kebun atau ada urusan lain.

Huja belum juga redah. Aku terus memacu laju kendaraanku. Hanya saja, saat perasaanku sudah mulai membaik setelah melewati sosok yang sempat menakutkan itu, kali ini dari kejauhan lampu motorku kembali menyorot kumpulan orang.

Perasaanku kembali kacau. Bagaimana mungkin ada kumpulan orang di tengah hutan pada malam hari seperti ini. Apalagi suasana hujan. Kupelankan laju motorku. Semakin dekat, aku melihat orang orang itu ada yang memegang parang. Jumlahnya sekitar 6 atau 7 orang dari hitung cepat yang kulakukan. Pikiranku makin buruk.

“Habis, ini pasti mau merampok,” pikirku.

Aku tidak bisa lagi menghentikan motorku. Kaget dan hanya bisa tetap membiarkan motor semakin mendekati kumpulan orang orang itu.

Semakain dekat, aku melihat ada juga orang yang memegang tombak. Namun, aku melihat ada beberapa ekor anjing ditempat itu.

“Owhhh, ini pasti orang yang sedang berburuh,” gumamku dalam hati.

Untuk kali keduanya perasaanku dibuat kacau malam itu. Ternyata tidak ada setan, tidak ada orang yang menghadang. Setidaknya itu yang aku sudah saksikan. Entah besok, entah pada waktu ke depan.

Aku meneruskan perjalananku ke rumah. Hujan masih terus menyirami perjalananku. Dingin…. Sangat dingin….***

MASAMA— Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Taugi Putra Mandiri Desa Taugi menjangkau kebutuhan petani di desa itu, melalui pengelolaan usaha sektor pertanian. Jenis usaha yang dikelolah BUMDes Taugi Putra Mandiri meliputi penyediaan sarana produksi, penyediaan herbisida, pestisida dan pupuk.

Direktur BUMDes Taugi Putra Mandiri Marliant Maola menjelaskan, penyertaan modal desa yang dilakukan Pemerintah Desa Taugi kepada BUMDes melalui Dana Desa, telah memberikan dampak dan manfaat yang besar bagi petani di desa itu. Pasalnya, dengan penyediaan sarana produksi, pestisida, herbisida, dan pupuk, membuat petani setempat mendapatkan kemudahan dalam akses sarana produksi pertanian.

“Sebelumnya para petani masih tergantung pada pengusaha pertanian yang ada. Namun saat ini, petani di desa sebagian besar sudah bekerja sama dengan BUMDes,” katanya akhir pekan lalu.

Kemudahan yang diberikan BUMDes kepada para petani diantaranya, pembayaran atas penggunaan pupuk, pestisida, herbisida maupun sarana produksi, dapat dilakukan setelah panen, dengan harga normal. Sebelumnya, melalui pengusaha pertanian, para petani harus membayar biaya lebih mahal jika pembayaran dilakukan setelah panen. “Itu salah satu pelayanan yang kami berikan,” kata Marlianto.

Dijelaskan, pada tahun pertama pengelolaan BUMDes yakni tahun 2016, jumlah petani yang dapat dijangkau baru sebayak 32 orang. Sedangkan tahun 2017 ini sebagai tahun kedua pengelolaan usaha pertanian, BUMDes sudah dapat menjangkau kebutuhan 62 orang petani, dengan jumlah luas lahan 62 ha sawah.(*)

jejak sejarah

jepang di masama, luwuk, banggai

MONUMEN : Sebuah tugu berukuran kecil dengan tinggi sekira 2 meter dibangun di Desa Padangon Kecamatan Masama. Tugu ini merupakan kenangan tentang adanya pesawat Jepang yang mendarat darurat di wilayah itu menjelang kemerdekaan RI. (Foto: Gafar Tokakalang)

Jejak-Jejak Tentara Jepang di Kecamatan Masama

Membuat Roda Pesawat, Membangun Tugu dan Kelompok Tani

 

Sebuah tugu dengan nama Jepang tertulis di penghujung Desa Padangon Kecamatan Masama. Miniatur bendera Indonesia dan Jepang juga dipajang disisi kiri kanan tugu. Sebuah monumen dibangun untuk mengenang pesawat tentara Jepang yang mendarat darurat di wilayah itu.

Oleh  : Gafar Tokalang

Tahun 1945, sebuah pesawat milik tentara Jepang mendarat darurat di kawasan perkebunan milik masyarakat Kecamatan Masama. Mr.Kikuchi, pilot pesawat yang terdesak oleh kejaran pesawat tempur sekutu itu, harus mendarat darurat untuk menyelamatkan diri. Akibatnya seluruh roda pesawat hancur terbentur bongkahan-bongkahan tanah yang memang bukan landasan itu.

Pesawat yang ditumpangi Mr.Kikuchi tersebut mendarat di perkebunan yang penuh dengan ilalang, sejak kawasan “kulibut” hingga kawasan “Butongon”, jaraknya sekira 3 kilometer. Sekarang, kedua tempat tersebut menjadi kawasan persawahan di wilayah Desa Taugi.

Saat itu, tak jauh dari kawasan tersebut, terdapat perkampungan masyarakat. Seperti Desa Eteng, Desa Tangeban, Desa Taugi, dan beberapa desa tua di wilayah tersebut. Maka, setelah pesawat benar-benar terhenti, Kikuchi turun dan melarikan diri menuju ke perkampungan penduduk.

Kikuchi kesulitan berkomunikasi, karena bahasa Jepang yang tidak dapat dimengerti oleh masyarakat. Hanya ada beberapa tokoh masyarakat saja yang mengerti perintah-perintah Jepang. Maklum, saat itu Kabupaten Banggai dan bahkan Indonesia masih dalam kekuasaan Jepang. Hanya beberapa perintah dalam bahasa Jepang saja dapat dimengerti oleh warga, salah satunya adalah perintah untuk menutup badan pesawat agar tidak terlihat dari udara.

Saat itu pula, warga desa, khususnya para lelaki yang berusia muda dan memiliki kekuatan fisik, dikerahkan untuk mencari daun kelapa kering. Daun kelapa kering yang dikumpulkan warga itulah yang digunakan untuk menutupi badan pesawat tersebut.

Setelah aman, Mr.Kikuchi meminta bantuan warga untuk membuat roda pesawat yang rusak. Entah seperti apa ceritanya, yang jelas menurut warga, pesawat tersebut akhirnya terbang kembali setelah warga, melalui seorang tukang kayu membuat roda pesawat dengan bahan kayu.

Biling, adalah sebutan untuk akar kayu besar yang berbentuk papan yang tebal. Biling itu kemudian dibuat bundar menyerupai roda pesawat itu. Atas bantuan warga dan tukang kayu tersebut, akhirnya beberapa hari kemudian, Mr.Kikuchi dengan pesawat tersebut terbang kembali dan pergi.

Tak banyak referensi yang dapat diperoleh terkait adanya pesawat Jepang di areal perkebunan itu. Bahkan dalam beberapa catatan sejarah pendudukan Jepang di Banggai yang sudah ada saat ini, juga belum menjangkau peristiwa tersebut.

Dari penuturan warga setempat, terdapat dua versi terkait peristiwa itu. Versi pertama yakni pesawat Jepang yang jatuh, dan ada juga versi lain yang menyebutkan, pesawat tersebut mendarat secara darurat karena dikejar kejar pesawat tempur milik sekutu.

Seperti diketahui, Jepang mendarat di Luwuk pertama kalinya pada 15 Mei 1942 yang dipimpin Komdan Miyamoto. Pergerakan tentara Jepang di daerah ini disebutkan cukup intens, beberapa catatan menyebutkan adanya kisah pekerja rodi dibawa kendali Jepang. Jepang akhirnya menyerah ketika sekutu (Amerika Serikat) membombardir kota Hirosima dan Nagasaki, yang kemudian menjadi akhir dari babak perang dunia II. Tak lama kemudian, Indonesia pun menyatakan kemerdekaannya.

Barulah pada tahun 2003 yang lalu, atau 68 tahun kemudian, seorang warga Jepang tiba di Luwuk Kabupaten Banggai, dan minta diantarkan ke wilayah Kecamatan Masama. Ia menemui sejumlah tokoh masyarakat di wilayah itu, dan menceritakan bahwa dirinya adalah anak dari Mr.Kikuchi, pilot pesawat yang pernah dibantu oleh warga untuk menerbangkan kembali pesawat itu.

Menurut Kepala UPT Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Masama, Darwis, saat datang, anak Mr.Kikuchi tersebut sempat memberikan bantuan kepada sejumlah tokoh masyarakat yang berada di Desa Minangandala, Desa Eteng, Desa Taugi, Desa Tangeban, dan beberapa desa lain. Bantuan yang diberikan berupa terpal dan kursi plastik dalam jumlah banyak.

Selain itu, anak dari Mr.Kikuchi tersebut kemudian membiayai warga untuk membangun sebuah monumen kecil. Sebuah tugu yang bertuliskan nama Mr.Kikuchi (1945-2003), dengan miniatur bendera Indonesia dan bendera Jepang di sisi kiri kanannya. Tugu tersebut kini berada di wilayah Desa Padangon, pemekaran dari Desa Eteng beberapa tahun lalu.

Tugu tersebut dibangun di lokasi dimana rumah seorang tukang kayu yang membuat roda pesawat saat itu. “Lokasi pesawatnya saat itu kini areal persawahan. Yang dibangun tugu itu adalah rumah tukang, tempat membuat roda pesawat kala itu,” tutur Darwis.

Nama Mr.Kikuchi tidak saja tertera dalam tugu tersebut. Petani di Desa Padangon, bahkan menjadikan nama “Kikuchi” sebagai nama sebuah kelompok tani.(*)

Sebelumnya saya telah memberikan argumentasi soal mengapa pajak daerah, yang menjadi salah satu bagian yang memberikan kontribusi terhadap total PAD mengalami kenaikan pesat dalam kurun beberapa tahun terakhir. Selanjutnya jika melihat total pendapatan yang juga mengalami tren peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, juga selalu diakibatkan oleh adanya regulasi yang berlaku secara nasional. Jadi, bukan semata-mata karena dipicu oleh kreatifitas kinerja pengelolaan sektor pendapatan di daerah.

Misalnya jika kita melihat dalam pertumbuhan dana transfer (perimbangan) yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami kenaikan, juga diantaranya karena terjadi kurang bayar Dana Bagi Hasil (DBH) Sumber Daya Alam (SDA) pada tahun-tahun sebelumnya, dan baru ditrasfer pada belakangan ini.

Salah satu contoh, terbitnya PMK Nomor 214/PMK.07/2014 tentang alokasi kurang bayar dan lebih bayar dana bagi hasil sumber daya alam sampai dengan tahun anggaran 2013 yang ditetapkan pada 3 Desember 2014, yang salah satunya adalah mengatur alokasi kurang bayar DBH SDA pertambangan umum tahun anggaran 2010, tahun anggaran 2011, tahun anggaran 2012, dan tahun anggaran 2013 yang mencapai Rp1,2 miliar.

Begitu juga dengan PMK Nomor 215/PMK.07/2014 tentang kurang bayar bagi hasil pajak tahun 2011 dan tahun 2012, yakni Kabupaten Banggai mendapatkan alokasi sebesar Rp888 juta DBH PPH Pasal 21. Jika ditelitikan, kenaikan dana transfer yang terjadi pada tahun 2013,2014 dan bahkan tahun 2015 nantinya, adalah terjadi akibat adanya kurang bayar dari pemerintah pusat pada tahun-tahun sebelumnya, dan baru ditransfer pada beberapa tahun terakhir.

Sementara dana transfer seperti DAU dan DAK, disesuaikan dengan laporan dari daerah karena menggunakan perhitungan dengan sejumlah indikator dalam pengalokasiannya. Jadi, kenaikan dana trasfer bukan terjadi karena “lobi-lobi” ke pusat, melainkan karena perhitungan berdasarkan indikator yang sudah ditetapkan secara nasional.

Belum lagi jika kita melihat besarnya alokasi transfer dari pusat ke daerah, yang terkait dengan Alokasi Dana Desa (ADD), yang juga akan masuk dalam kelompok dana transfer. Jika dihitung dengan kenyataan itu, maka jelas tahun 2014 dan seterusnya akan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelum tahun 2014, karena memang pada tahun-tahun itu belum ada dana ADD yang diberikan pemerintah pusat ke daerah.

Yang mungkin ada kaitannya dengan “lobi-lobi” ketingkat pusat adalah dana transfer jenis dana penyesuaian dan otonomi khusus. Sektor ini ke depan harus diperkuat. Sebab, pada tahun 2009 sampai tahun 2011, dana penyesuaian dan otonomi khusus justru naik, dari Rp51 miliar pada tahun 2009 menjadi Rp Rp71 miliar pada tahun 2011 dan naik lagi menjadi Rp116 pada tahun 2011. Pendapatan dari dana penyesuaian justru turun pada tahun 2012 dan 2013, yakni masing-masing hanya mencapai Rp95 miliar tahun 2012 dan Rp89 miliar tahun 2013. Posisi dana penyesuaian baru naik kembali pada tahun 2014 yakni mencapai Rp125 miliar.

Uraian mengenai pergerakan angka pendapatan daerah setiap tahun perlu dianalisa secara objektif, sehingga tidak menjebak penafsiran tentang persepsi kinerja pengelolaan pendapatan yang maksimal. Ini penting, agar semua pihak, para pemangku kepentingan dan kebijakan di daerah, tidak bersikap “besar kepala” dan merasa puas dengan hasil yang dicapai. Tujuannya adalah agar kedepannya nanti bisa merumuskan langkah strategis yang lebih mengarah pada hasil dari kualitas kerja, dan bukan hasil dari kebijakan nasional.

Yang saya maksudkan adalah, harusnya analisis yang diambil untuk menatap kedepan adalah bukan pada sisi seberapa besar yang kita dapatkan saat ini, melainkan harusnya kita bicara soal seberapa besar potensi pendapatan daerah dari sektor pajak dan retribusi daerah yang bocor selama ini. Kita harus mengejar kebocoran itu.

Misalnya soal jutaan meter kubik galian material non logam dan batuan yang tidak bisa tertagih, soal banyaknya izin tambang yang tak bayar pajak, soal pajak restoran dari aktivitas PT.Rekayasa Industri di lokasi proyek Migas yang juga tak dibayar. Dan lain-lain yang berskala lokal.

Harusnya, jika memang ini didesain untuk pencitraan, pemaparannya lebih fokus pada seberapa besar kemampauan daerah ini dalam menarik pendapatan dari potensi pajak dan retribusi daerah yang ada. Yang perlu diuraikan adalah seberapa besar sebenarnya potensi milik kita, berapa yang tergarap, berapa yang bocor. Sekarang, harusnya kita bicara soal itu, bukan mempersentasekan pendapatan yang sudah diatur secara nasional. Apalagi jika harus menggiring pemahaman akan hal tersebut sebagai sebuah prestasi.

Yang menggelitik dari pikiran saya saat menghadiri pembukaan forum SKPD tersebut sebenarnya, adalah soal argumentasi yang dipaparkan Dinas Pendapatan dan Badan Keuangan. Bagi saya argumentasi tersebut justru bisa membuat bupati sebagai kepala daerah terjebak dalam perasaan senang, karena merasa telah melakukan sesuatu loncatan yang luar biasa dari aspek pendapatan daerah.

Padahal, argumentasi tersebut tidak sepenuhnya objektif karena tidak diuarikan secara detail. Bagi saya, hal tersebut tidak memberikan sumbangsi positif dari aspek pencitraan secara politis, jika itu yang diharapkan oleh para pembicara. Karena bagi saya, input yang kurang baik, akan mengakibatkan output yang juga kurang baik.

Dan karena alasan itulah saya membuat perspektif ini, sebagai persepektif lain dari kemajuan yang sudah ada. Mungkin argumentasi ini akan menimbulkan pendapat lain sebagai perspektif baru. Analisis saya ini bisa menjadi input positif, atau juga bisa menjadi sampah. Karena saya sadar semua itu tergantung dari sudut mana kita memandangnya.

Hal yang telah saya uraikan ini, baru merupakan perspektif dari aspek pendapatan. Untuk selanjutnya, saya masih akan mengurai fakta lain dari aspek belanja daerah, yang juga mengalami kenaikan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Peningkatan nilai belanja selama ini perlu dilihat secara objektif. Setidak-tidaknya perlu dilihat dari perspektif yang lain, selain yang telah dipaparkan dalam musrenbang di 23 kecamatan, dan selain dari apa yang dipaparkan dalam pembukaan forum SKPD. Untuk itulah, selanjutnya saya hendak menyingkap distorsi belanja aparatur dalam menggerogoti kebutuhan rakyat selama ini, sebagaimana yang banyak ditemukan dalam fenomena belanja daerah beberapa tahun terakhir.(*)

Kemarin, pemerintah daerah Kabupaten Banggai menggelar Forum SKPD. Forum itu dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) untuk merancang pembangunan daerah tahun 2016 mendatang.

Pembukaan kegiatan itu diawali dengan pemaparan sejumlah pihak yang berkompeten di daerah, seperti Dinas Pendapatan yang memberikan pandangan tentang pendapatan daerah, dinas keuangan yang memberikan pandangan pengelolaan keuangan daerah.

Ada hal yang menggelitik pikiran saya dalam pemaparan itu. Terutama mengenai klaim yang ditegaskan Kepala Dinas Pendapatan Martono Suling dan Kepala Badan Keuangan Imran Suni, terkait dengan pergerakan anggaran daerah dari aspek pendapatan dan belanja daerah dalam kurun waktu lima tahun terakhir.

Menurut Martono, sejak daerah ini dipimpin bupati Sofhian Mile, terjadi kenaikan yang cukup serius dari aspek pendapatan daerah. Misalnya PAD, yang pada tahun 2011 sebesar Rp35 miliar, naik menjadi Rp48 miliar pada tahun 2012 dan menjadi Rp65 miliar pada tahun 2013. Kemudian naik lagi pada tahun 2014 menjadi Rp92 miliar dan kemudian ditargetkan Rp96 miliar pada tahun 2015.

Kenaikan PAD setiap tahun itu, dipaparkan Martono dalam pertemuan itu sebagai sebuah prestasi besar yang dilakukan pemerintahan dibawah kepemimpinan Sofhian Mile yang dimulai pada tahun 2011 hingga saat ini.

Begitu juga dengan Kepala Badan Pengelola Keuangan Imran Suni, yang mencoba memberikan argumentasi yang sama pada pertemuan itu. Kata dia, belanja daerah setiap tahun terus naik, yakni pada awal menjadi bupati pada tahun 2011, belanja daerah baru berada pada posisi Rp750 miliar, naik drastis menjadi Rp1,3 triliun pada tahun 2015. Kata dia, jika melihat tren kenaikan belanja daerah sejak tahun 2011 sampai tahun 2015 dengan rata-rata sebesar 16,35 persen, maka proyeksi belanja daerah tahun 2016 bisa mencapai Rp1,5 triliun.

Kedua kepala dinas tersebut mengklaim fakta-fakta tersebut sebagai sebuah prestasi. Bagi saya, argumentasi kedua kepala dinas tersebut merupakan perspektif pemerintah daerah, yang mencoba mengaitkan dengan kinerja kepemimpinan Sofhian Mile dalam lima tahun terakhir.

Argumentasi kedua pejabat tersebut bagi saya sebenarnya cukup berbahaya. Sebab, tahun ini adalah tahun politik, terutama menjelang pemilihan kepala daerah. Jika fakta pergerakan keuangan itu dikait-katikan dengan kinerja bupati, yang “mungkin” diharapkan agar dapat mendongkrak popularitas pemerintahannya, maka saya justru melihatnya sebagai sebuah argumentasi yang berbahaya.

Sebab, saya melihat adanya argumentasi yang dipaksakan dalam menjelaskan setiap pergerakan keuangan daerah dalam lima tahun terakhir pada forum tersebut. Argumentasi yang dipaparkan cenderung berkesan politis, dan tidak konseptual.

 

Berikut adalah perspektif lain dari fakta pergerakan keuangan daerah dalam lima tahun terakhir, yang saya buat sebagai argumentasi yang mungkin bisa menjadi pertimbangan, untuk tidak menjadikan pergerakan keuangan daerah selama ini, sebagai materi pencitraan dimasa yang akan datang.

Bahwa adanya kenaikan pendapatan daerah dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2011-2015) sebagaimana yang dipaparkan, itu adalah benar adanya. Namun harus dipahami bahwa tren kenaikan pendapatan daerah sebenarnya juga sudah terjadi sejak lama. Misalnya, BPS telah merilis angka pergerakan pendapatan daerah yang juga sudah terjadi sejak tahun 2009 sebesar Rp630 miliar hingga 2011 menjadi Rp781 miliar.

Memang terjadi perbedaan persentase tren pertumbuhan pendapatan daerah pada periode 2009-2011 dengan periode 2012-2015. Namun perbedaan persentase tren pertumbuhan pendapatan daerah tersebut, tidak dapat dikaitkan dengan kinerja kepala daerah dalam memimpin. Sebab, besarnya pertumbuhan pendapatan daerah pada periode 2012-2015 terjadi akibat adanya perubahan regulasi yang mengatur pengelolaan keuangan secara nasional.

Secara jelas dan komprehensif, analisis mengenai hal ini akan saya tulis pada bagian selanjutnya. Namun sebagai contoh dalam tulisan kali ini, berikut saya uraikan pergerakan Pajak Daerah sebagai salah satu item Pendapatan Asli Daerah (PAD), untuk memahami kenapa terjadi kenaikan signifikan pada sektor PAD dalam periode 2011-2015.

Pada tahun 2009 pajak daerah kita hanya sebesar Rp5,4 miliar, kemudian pada tahun 2010 naik menjadi Rp6,3 miliar. Pada tahun 2011 naik tajam menjadi Rp12,8 miliar, dan naik lagi menjadi Rp15,6 miliar pada tahun 2012. Kemudian menjadi Rp20,3 miliar pada tahun 2013 dan Rp28,9 pada tahun 2014.

Jika dilihat, kenaikan tajam mulai terjadi pada tahun 2011. Hal itu berkaitan dengan berlakunya UU No 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah, yang salah satunya adalah soal pelimpahan BPHTB dan PBB-P2 menjadi Pendapatan Asli Daerah. Sebelumnya, kedua jenis pajak tersebut merupakan kewenangan pusat dan tidak tercatat sebagai PAD di daerah.

Di Kabupaten Banggai pengelolaan BPHTB sudah dimulai sejak tahun 2012 lalu, sedangkan pengelolaan PBB-P2 dimulai sejak 2014. Selain itu, ada pula pajak air tanah, dan pajak mineral bukan logam dan batuan yang diperoleh dari aktivitas di proyek Migas.

Beberapa sumber PAD tersebut, sebelumnya memang tidak dimiliki daerah. Jadi, wajar jika terjadi kenaikan signifikan dalam kurun waktu 2011-2015 untuk PAD, karena salah satunya adalah berkaitan dengan pemberlakukan UU No 28 tahun 2009.

Inilah “salah satu” fakta yang tidak dipaparkan secara objektif oleh kepala dinas pendapatan dan kepala badan pengelola keuangan dalam Forum SKPD, dan langsung membuat argumentasi politis yang bagi saya justru berbahaya itu.(*)